Sabtu, 10 Desember 2011

Jeritan Hati

Tergugah hatiku melihat senyum mereka
Menahan tangis dan air mata
Bermain-main bersama teman
Itulah pelampiasan mereka
Kasih sayang dari kerabat hanyalah angan belaka
Mereka terbuang dalam selembar kain
Menangis meraung-raung tak ada yang peduli
Hanya orang yang punya belas kasih
Mau melindungi mereka sepenuh hati

sumber : http://remaja.suaramerdeka.com/

Lukisan Alam Terindah Maha Karya Tuhan Sang Pencipta

Kehidupan berjalan begitu cepat, setiap hari kita selalu dipaksa untuk bekerja dan bekerja. Disibukkan dengan aktifitas yang terus menerus berulang setiap waktu.

Namun dibalik kesibukkan kita, berhentilah sesaat untuk melihat sekeliling kita. Karya Tuhan yang sangat indah akan memanjakan hidup mata Anda dan sejenak lupakan kesibukkan dunia Anda.

























































































Sumber :
klikunic.com

Tikus Sebenarnya Baik Hati dan Pemurah

Tikus identik dengan pengkhianat cinta. Namun sebenarnya, menurut para peneliti, mereka benar-benar baik dan murah hati.

Dalam sebuah penelitian, ilmuwan Universitas Chicago menempatkan tikus-tikus berpasangan sehingga mereka harus saling mengenal.

http://i800.photobucket.com/albums/yy286/cakefever/tr3/rat.png

Ketika kemudian satu tikus ditempatkan di tabung transparan dalam kandang, tikus kedua terlihat tertekan sampai berhasil membebaskan tikus yang pertama.

Yang mengherankan, tidak hanya membantu teman di kandang yang dalam kesulitan, mereka juga tanpa pamrih berbagi. Yang juga mengherankan, tikus betina terlihat lebih peduli daripada jantan.

Selama percobaan, para ilmuwan menemukan bahwa tikus yang berkeliaran gelisah melihat temannya terperangkap dan menurut para ilmuwan, tikus itu memperlihatkan bentuk sederhana dari empati.

Binatang yang bebas pergi lebih jauh, belajar bagaimana membuka pintu tabung, tanpa diajari, dan membebaskan pasangannya.

http://www.penyuluhpertanian.com/wp-content/uploads/2011/10/tikus.png

Hal ini, kata peneliti, merupakan bentuk yang lebih kompleks dari empati. Banyak tikus mengulangi pola itu, menurut laporan jurnal Science.

"Kami tidak melatih tikus-tikus ini dengan cara apa pun. Tikus ini belajar karena mereka termotivasi oleh sesuatu secara internal," kata Inbal Ben-Ami Bartal.

"Kami tidak mengajarkan mereka bagaimana membuka pintu. Sulit untuk membuka pintu, tapi mereka terus mencoba dan mencoba dan akhirnya berhasil."

Dalam penelitian lebih lanjut, tikus memiliki sedikit ketertarikan atau tidak tertarik melepaskan mainan boneka yang terjebak dalam tabung, tetapi mereka membebaskan tikus hidup, bahkan ketika tidak diizinkan untuk bermain dengan tikus itu setelah bebas.

http://static.inilah.com/data/berita/foto/1365532.jpg

Ini, kata para peneliti, menunjukkan bahwa motivasi tikus pembebas adalah untuk menghilangkan penderitaan hewan-hewan terperangkap.

Dalam percobaan terakhir, peneliti melihat sikap tikus ketika diberikan pilihan melakukan penyelamatan atau makan cokelat.

Hewan itu sering lebih memilih untuk menyelesaikan penyelamatan sebelum menyelipkan dan berbagi cokelat mereka dengan teman mereka.

"Itu sangat menarik. Menunjukkan kepada kita bahwa pada dasarnya membantu pasangan mereka setara dengan cokelat. Kami terkejut," kata Peggy Mason.

Hasil penelitian juga mengisyaratkan tikus betina lebih mungkin untuk melakukan upaya penyelamatan yang mungkin mencerminkan pentingnya empati dalam keibuan.

Tim peneliti mengatakan bahwa bertindak dari empati jelas bukanlah keunikan manusia saja dan menyarankan kita mungkin bisa belajar satu atau dua hal dari tikus yang rendah hati itu.

Profesor Mason mengatakan, "Ketika kita bertindak tanpa empati, kita bertindak melawan warisan biologis kita."

"Jika manusia mau mendengar dan bertindak pada warisan biologis mereka lebih sering, kita akan lebih baik."

Sumber :
tempo.co

Spesies Ular Langka Ditemukan di Sumatera

Peneliti WWF Indonesia, Ridwan Setiawan, menemukan spesies ular Sumatran pitviper atau Sumatran tree viper. Spesies bernama Trimeresurus sumatranus itu memang bukan spesies baru, tetapi tergolong spesies langka.

"Di Sumatera sekarang sudah sulit dijumpai spesies ini. Dulu mungkin cukup sering, sekarang sudah jarang," kata peneliti yang akrab disapa Iwan Podol itu.


http://assets.kompas.com/data/photo/2011/12/05/1415187620X310.jpg

Iwan mengungkapkan, Trimeresurus sumatranus merupakan ular berbisa dengan corak unik. Berwarna dasar abu-abu, ular itu bercorak hijau kekuningan dan memiliki ekor kemerahan. Ukurannya sepanjang 1,5-2 meter.

Ular tersebut tepatnya ditemukan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung. Wilayah tersebut merupakan habitat yang sesuai untuk Sumatran pitviper karena kondisinya yang lembab dan kaya sumber pangan bagi ular.

Iwan menjelaskan, ular itu ditemukannya saat melakukan survei habitat badak sumatera beberapa waktu lalu. Tempat penemuannya adalah di kawasan hutan yang habitatnya masih terjaga, yaitu di hutan primer.

Trimeresurus sumatranus, jelas Iwan, biasanya memakan katak, tikus hutan, dan beberapa jenis burung. Biasanya, ular didapati berada di cabang pohon yang berukuran kecil dan masih dekat dengan tanah.

Menurut Iwan, ular tersebut aktif pada malam hari. Sebaran habitatnya sendiri ada di Sumatera, Mentawai, Nias, Borneo, hingga ke Semenanjung Malaysia hingga Thailand.

Saat ini, jenis ular langka ini pun menghadapi ancaman. "Ada banyak ular yang diburu. Ular ini coraknya unik, jadi termasuk salah satu yang diburu. Ular juga diburu untuk diambil toksinnya," kata Iwan.

Ancaman juga datang dari aktivitas perusakan hutan. "Kalau hutan dirusak, habitat dirusak, itu juga ancaman untuk ular ini," jelas Iwan saat dihubungi Kompas.com.

Menghentikan perusakan hutan dan perburuan adalah langkah tepat memelihara kelangsungan hidup spesies ular ini. Dengan langkah itu pula, banyak spesies bisa terselamatkan.

Sumber :
kompas.com

Cinta Yang Tak Terganti

“Bunda tahu, kehilangan Rado sangat menyakitkan dan tidak bisa tergantikan. Tapi coba Rianti membuka hati buat Ryan. Dia juga saudara kembar Rado, setidaknya....”

Guntur di luar, suaranya menggiriskan hati. Angin dan air seperti beradu. Dingin. Bibirku sudah membiru, gigiku beradu, menahan dingin yang menggigit. Padahal sudah kukenakan
sweater pemberian Rado, ketika dia menjalankan tugas ke Padang. Rado? Saat dia mengingat nama itu, tiba-tiba air bening menyeruak begitu saja dari matanya. Bobol lagi pertahananku. Dasar cengeng! Kenapa aku harus menangis lagi?

Peduli amat, orang bilang cintaku cinta monyet. Namanya juga baru kali ini aku mengenal cowok secara serius. Maklum. Keluargaku sedikit kolot. Anak cewek tidak boleh keluyuran. Pulang sekolah, wajib langsung diam di rumah. Kalau tidak ikut pengajian, aku musti membantu Meta, adikku, belajar. Kadang aku juga menemani ibu belanja keperluan toko kami. Padahal aku merasa sudah dewasa, umurku sudah enam belas tahun... tapi tetap saja kedua orangtuaku menganggap aku belum tahu apa-apa.


Siang itu aku mau menjemput adikku. Kebetulan aku pulang cepat, sehingga bisa menjemput Meta. Ketika aku menyeberangi jalan, tiba-tiba muncul sebuah mobil sedan berwarna biru langsung menuju ke arahku. Karena begitu cepatnya, aku tak mampu berlari atau berteriak lagi. Aku malah terpaku, seperti menunggu maut itu menjemputku....
Darrr! Suara keras itu memekakkan telinga. Aku merasa tubuhku melayang, entah berapa lama sampai sebuah tangan dingin menepuk-nepuk pipiku.

“Bangun, Mbak.... Mbak nggak apa-apa?”
Aku menggeliat. Ringan banget rasanya. Kupikir aku sudah mati. Ternyata aku sudah ada di sebuah rumah makan. Aku baru ingat, rumah makan itu kan letaknya berseberangan dengan sekolah adikku. Lantas....

“Mbak tadi nyaris jadi korban tabrak lari. Orang gila tuh! Untung ada temannya mbak duluan nyamber. Kalau tidak, aduhh...” cerocos seorang ibu setengah baya yang keluar sambil membawakan dua cangkir teh hangat. Mmm... pasti si empunya rumah makan.

“Temanku???” Aku berusaha menajamkan lagi penglihatanku. Sesosok cowok jangkung dengan baju seragam yang sama denganku, kelihatan menunduk tersipu.

“Sori, aku tadi ngaku-ngaku temen kamu. Nggak apa-apa kan, kita juga satu sekolah... daripada ribet neranginnya ke ibu itu,” bisik cowok itu.

Aku terhenyak. Aku yang malu, anak satu sekolah tidak kukenali. Kuper banget.

“Yuk kuantar pulang. Aku bawa kendaraan....”

Aku menggeleng. Tiba-tiba bayangan adikku terlintas....

“Aku ada janji. Thanks, ya....”

“Yakin, nggak apa-apa?”

Aku menggangguk, “Serius.”

“Oke deh... bye. Aku duluan.” Cowok itu beranjak dari duduknya, sebelum aku sadar, dia sudah pergi. Dasar! Bodoh benar aku. Kenapa tidak kutanya siapa namanya? Kelas berapa?

Ah, wajahnya saja mulai samar-samar. Aku tidak ingat bener, hanya sekilas kuingat tatapan matanya yang tajam dan genggaman tangannya yang begitu kuat dan hangat. Siapa sangka, aku kembali bertemu cowok itu saat briefing hari pertama workshop pers abu-abu di sekolahku. Rado... menyebut namanya saja, pipiku bisa merona tiba-tiba. Entah kenapa, keingintahuanku untuk mengenal dirinya lebih dalam begitu menggoda, sampai-sampai aku jadi lebih cepat datang ke sekolah, hanya untuk melihatnya datang, dari teras kelasku.
11 JANUARI
Rado... Rado. Andai ini mimpi, aku tak berani untuk bangun. Aku ingin tetap terlelap dalam mimpiku. Saat kau bilang, kau ingin selalu menjagaku dalam sedih dan senang, dalam tangis dan tawa. Duh, romantisnya. Dia nembak aku bukan dengan cincin, bunga, atau sekotak coklat. Tapi dia membuatku terhenyak, ketika dia memberiku kumpulan lagu-lagu kesukaanku dalam satu CD yang dia mix sendiri. Seperti lagu Gigi, ya.. dia nembak aku pas tanggal 11 Januari, dua tahun yang lalu.
Rado... andai kamu tahu, kamu benar-benar sudah mengubah sebagian besar hidupku. Aku yang pemalu, penyendiri, kini seperti bunga yang mulai berani memperlihatkan kelopaknya. Aku mulai berani aktif di berbagai ekskul, seperti kamu. Aku mulai tahu, tidak semua laki-laki sejahat yang kudengar dari doktrin kedua orangtuaku. Ada juga cowok yang berhati hangat seperti kamu.

Saat aku jatuh, saat aku kecewa, kamu selalu ada. Ketika rumor membuat keluargaku nyaris berantakan, kamu justru datang menentramkanku. Aku tak tahu lagi, apa yang harus kukatakan buat menunjukkan aku juga serius sayang kamu. Impian kita rupanya tinggal selangkah lagi. Dua tahun sudah kita lalui, orangtua kita juga seperti keluarga besar.

Rencana pertunangan di depan mata. Bahkan sudah ada tanggal pernikahan! Kata orangtua kami, bertunangan dulu yang penting. Biar masih kuliah, ntar juga bisa diatur.

Rona bahagia tidak mampu kusembunyikan. Pagi itu, kebaya brokat warna biru muda siap kukenakan. Aku masih sibuk dirias, saat kudengar suara ibuku seperti berteriak, setengah histeris. Aku masih tak mengerti, ketika ayahku duduk di depanku, berkata lamat-lamat.... Rado sudah pergi.

Seisi rumahku menjadi gaduh. Tapi entah kenapa, aku tidak bisa menangis. Aku juga tak merasakan apa-apa, ketika ayah menjelaskan Rado mengalami kecelakaan 5. dan tewas seketika di tempat kejadian. Telingaku seperti mendengung, tak jelas. Badanku seperti mati rasa, kebal, tak berasa apa pun.
11 Januari saat Rado nembak aku. Tanggal itu pula rencana pertunangan kami. Tanggal itu pula tanggal Rado dimakamkan. Rado meninggalkanku, tanpa pesan, tanpa tanda apa pun. Cowok yang sudah dua tahun ini mengisi hari-hariku. Namanya memenuhi diary-ku. Namanya selalu ada dalam doa sujudku.

Aku tak punya air mata lagi. Entah kenapa, hingga jasadnya menghilang tertutup tanah, aku tetap tak mampu menangis. Aku seperti limbung, berada di tempat asing. Sekelilingku tak kukenali lagi.

Pulang ke rumah, ketika aku duduk di depan televisi, bayangan itu mengganggu lagi. Bayangan waktu Rado menolongku pertama kali, lantas dia mengajariku mengurus mading, sampai nembak aku dengan sebuah CD. Badan dan hatiku seperti mati rasa. Tiba-tiba saja, aku mendengar Ibu dan Ayah berteriak histeris, sekilas kulihat bayangan mereka semakin jauh dan gelap.

***
Minggu pagi, saat kumulai hariku. Aku melenggang sendiri. Tujuanku ke makam Rado, sekedar menengok dan mendoakannya. Ya, aku kangen. Tiba di makam, aku nyaris terhenyak. Mimpikah aku? Kenapa Rado masih duduk di depan makam? Lantas....

Orangtua Rado menenangkanku. Ternyata satu hal yang belum kutahu. Rado punya saudara kembar yang diasuh neneknya. Ryan, nama cowok yang mirip sekali dengan Rado. Astaga....

Guntur masih menggelegar. Lamunanku terputus. Ah, aku terlalu lama melamun. Bayangan Rado dan Ryan tiba-tiba bermain dalam benakku. Aku ingat pembicaraan siang tadi di rumah, ketika bunda Rado datang.
“Bunda tahu, kehilangan Rado sangat menyakitkan dan tidak bisa tergantikan. Tapi coba Rianti membuka hati buat Ryan. Dia juga saudara kembar Rado, setidaknya....”

“Rado bisa diganti Ryan, itu maksud Bunda?” Entah kenapa, nadaku langsung tinggi menanggapi maksud ibu Rado. Memangnya aku barang. Tidak dengan A, bisa dengan B, sekalipun mereka sedarah?
Aku terduduk lemas di ruang makan. Bayangan Rado dan Ryan lamat-lamat semakin jauh. Kumohon, Tuhan, haruskah kuterima cinta Ryan? .
  

oleh :Stephanie

sumber :http://anekayess-online.com 
 

Minggu, 04 Desember 2011

KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA

Hai sahabat Blogger kali ini Seo mau posting tentang arti kata atau ungkapan lah menurut KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA. Pastinya kalian ada juga yang belom tau artinya kan . . .

GALAU  : sibuk beramai-ramai; ramai sekali; kacau tidak keruan (pikiran)

SURAM  :1 kurang terang (tt cahaya); kurang kuat cahayanya: bulan pun -- seakan-akan ikut bersedih; 2 redup, berawan, mendung (tt cuaca): hari pun --; 3 kusam atau kuyu (tt mata): matanya sangat -- , seakan-akan sudah lepas nyawa dr tubuhnya; 4 muram tidak berseri-seri (tt muka): -- saja mukanya sehari ini; 5 tidak bening (tt kaca, intan, dsb); tidak berkilauan (tt emas, perak, dsb); buram; 6 ki susah (tt kehidupan); tidak tentu (tt nasib, masa depan, dsb): hidupnya semakin hari semakin --; masa depannya --; 7 ki tidak nyata dl ingatan atau pikiran: ingatan kpd tunangannya makin lama makin

KASMARAN : jatuh cinta

FATAMORGANA : 1 gejala optis yg tampak pd permukaan yg panas, yg kelihatan spt genangan air; 2 hal yg bersifat khayal dan tidak mungkin dicapai

AMBISI : keinginan (hasrat, nafsu) yg besar untuk menjadi (memperoleh, mencapai) sesuatu (spt pangkat, kedudukan) atau melakukan sesuatu: ia mempunyai -- untuk menjadi duta besar; pengabdiannya penuh dedikasi, tanpa -- pribadi;inginan (hasrat, nafsu) yg besar untuk menjadi (memperoleh, mencapai) sesuatu (spt pangkat, kedudukan) atau melakukan sesuatu

Rabu, 30 November 2011

Kimpul

Awan hitam merangkak pelan. Awan seperti itu setiap hari mengancam pada musim hujan dan merupakan isyarat tak lama lagi hujan akan mencurah deras. Curah hujan belakangan inimemang tinggi. Banjir dan genangan air kemudian menyusul di beberapa tempat.
Kimpul belum bergerak dari tempat duduknya. Sejak pukul delapan pagi hingga pukul dua belas tengah hari itu belum seorang pun singgah dan meminta jasanya. Biasanya, ia baru bergerak setelah hujan rintik-rintik turun dan berlari jika rintik-rintik air itu bertambah besar. Terkadang ia terpaksa siap untuk basah kuyup karena hujan deras mendadak turun tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk berlindung di tempat berteduh.
Tempat berteduh yang nyaman bagi Kimpul adalah Stasiun Besar di seberang jalan raya yang jaraknya kira-kira tiga puluh meter dari tempatnya bekerja. Ke sanalah ia berlari dan berlindung selama hujan mencurah. Berlari dan berlindung seperti itu setiap hari harus dilakukannya selama musim hujan. Jika hujan tidak lagi berderai Kimpul kembali ke tempatnya semula, menunggu siapa saja yang membutuhkan jasanya.
Kimpul masih menunggu dan berharap. Mudah-mudahan ada orang yang singgah ke tempatnya walaupun hanya satu orang karena selama dua hari belakangan ini tidak seorang pun menyapanya dan duduk di kursi di depannya. Ia menatap toko-toko buku baru dan buku bekas yang berjejer tidak jauh di depannya, toko-toko yang menghambat pemandangan ke lapangan di belakangnya. Dulu, semua toko buku itu tidak ada dan setiap orang yang berada di Stasiun Besar, yang sedang melangkah atau berkendaraan di jalan raya atau berdiri di tempat Kimpul duduk saat itu, dengan leluasa dapat melihat lapangan di belakang toko-toko buku itu.
Di keempat sisi lapangan rumput itu terdapat parit yang membatasi lapangan dengan lahan kosong yang lebarnya lima belas meter di sekeliling lapangan. Tidak sedikit orang lalu lalang di lahan kosong ini, karena di sana banyak gerobak yang menjual makanan dan minuman. Para penumpang kereta api dari luar kota yang turun di Stasiun Besar umumnya makan dan minum di lahan kosong ini.
Pada tengah hari, para penjual obat kaki lima berteriak-teriak berkampanye di lahan kosong yang teduh di bawah kerimbunan pohon-pohon besar yang telah puluhan tahun berdiri di sana. Semua penjual obat berlomba memamerkan kehebatan mereka berorasi agar pengunjung yang melingkar di sekitar mereka mau membeli obat yang mereka jajakan. Dan, setiap orasi pastilah memuji kemujaraban obat. Begitu orasi selesai biasanya ada saja pengunjung yang langsung membeli obat mereka.
Masih erat melekat dalam ingatan Kimpul bahwa seorang penjual obat kaki lima itu berhasil meningkatkan diri menjadi bintang film. Semula ia hanya menjadi figuran dalam film ”Lewat Jam Malam” yang disutradarai Usmar Ismail. Ia kelihatan beberapa detik di layar putih, karena hanya berperan sebagai orang yang harus berjalan kaki dari sebuah pintu ke pintu lain yang jaraknya hanya tujuh meter. Tapi, setelah itu ia muncul dalam beberapa film lain sebagai pemeran utama. Hebat si Djoni, ujar Kimpul kepada dirinya sendiri.
Begitu cepatnya keadaan berubah, Kimpul membatin. Dulu, lapangan luas itu selalu digunakan untuk tempat berbagai rapat umum dan upacara peringatan hari kemerdekaan sambil mendengarkan pidato Bung Karno. Ribuan murid sekolah SMP dan SMA diwajibkan hadir di sana untuk mendengarkan pidato berapi-api Pemimpin Besar Revolusi yang gagah itu.
Di selatan lapangan rumput itu terdapat hotel megah peninggalan penjajah Belanda. Kini hotel itu tidak kelihatan lagi karena telah berganti dengan gedung milik sebuah bank dengan lapangan parkir yang luas. Di utara lapangan, di Jalan Rumah Bola, terdapat sebuah tempat pertemuan orang-orang Belanda yang setelah kemerdekaan diberi nama Balai Prajurit. Balai itu sirna sudah karena di lokasi itu telah dibangun sebuah pusat perbelanjaan yang senantiasa rampai pengunjung.
Kimpul merasa perubahan terjadi begitu cepat tanpa menyadari bahwa ia telah empat puluh tahun menjual jasanya di pinggir lapangan itu sejak berusia dua puluh lima tahun. Karena kondisi yang berubah ini, nasib Kimpul turut berubah. Kalau dulu banyak orang yang satu profesi dengan Kimpul bekerja di bawah pohon rindang di pinggir lapangan, kini hanya dia dan seorang lagi yang masih menawarkan jasa di sana. Kalau dulu tanah kosong yang mengelilingi lapangan terasa teduh karena beberapa pohon rimbun berdiri kukuh di sana, kini tanah kosong itu lenyap sudah karena seluruhnya ditelan ruko-ruko yang beroperasi hingga malam hari. Cahaya matahari langsung jatuh di toko-toko buku itu, karena sebagian pohon telah ditebang.
Sekarang, lahan kosong pun semakin sempit. Di lahan kosong yang sempit itulah Kimpul dan seorang temannya membuka praktik sebagai pemotong rambut yang lazim disebut tukang pangkas. Dengan hanya bermodalkan sebuah kursi lipat, sebuah cermin yang diikatkan ke sebuah tiang, seperangkat alat pemotong rambut yang dibawanya di sebuah tas kecil yang kumuh dan sebotol air, ia siap melayani siapa saja. hingga menjelang magrib.
Awan hitam yang merangkak tidak lagi kelihatan. Hujan juga tidak jadi berkunjung. Hari kembali cerah hingga sore hari. Kimpul masih menunggu. Ternyata tidak ada orang yang ingin meminta jasanya untuk memangkas rambut. Ketika magrib memperlihatkan wajahnya, Kimpul mengambil cermin dari tiang yang dipancangnya, mencabut tiang itu, melipat kursi yang sejak pagi didudukinya, mengambil tas kumuh yang berisi alat-alat cukur dan membuang air yang tersimpan dalam botol. Setelah itu dengan mengayuh sepeda ia pulang tanpa memperoleh uang sepeser pun seperti dua hari sebelumnya.
***
Ketika Kimpul terangguk-angguk karena mengantuk, ia mendengar seseorang memanggil namanya. Ia segera membuka mata dan berdiri. Seorang lelaki muda berusia sekitar tiga puluh lima tahun berdiri di depannya sambil tersenyum. Ia menyilakan laki-laki itu duduk di kursi lipat yang sebelumnya didudukinya. Kimpul menduga laki-laki itu akan memotong rambut. Laki-laki itu menolak dengan sopan dan tetap berdiri.
”Pak Kimpul, kan?” kata lelaki muda itu bertanya.
”Benar, saya Kimpul”.
”Masih kenal saya, Pak?”
Kimpul menatap laki-laki itu, memperhatikannya dan mencoba menggali ingatannya. Ia tidak berhasil. Karena itu ia menggeleng dengan sopan.
”Saya Dasuki.”
”Dasuki?” Kimpul kembali mencoba membangunkan memorinya. Sekali lagi ia tidak berhasil.
”Tidak apa-apa, Pak, kalau tidak ingat. Maklum peristiwanya sudah lama sekali. Lima tahun. Cukup lama memang.”
Kimpul semakin tidak mengerti semua yang diucapkan laki-laki itu. Jangan-jangan dia salah alamat. Mungkin saja yang dicarinya memang Kimpul, tapi Kimpul yang lain. Laki-laki yang menyebut namanya Dasuki itu tidak ingin melihat wajah Kimpul yang bengong seperti itu.
”Lima tahun lalu saya pangkas di sini. Pak Kimpul yang memotong rambut saya. Ketika Bapak akan mencukur janggut, kumis dan cambang saya, tiba-tiba turun hujan deras. Saya menyambar sepeda motor dan segera memacunya ke stasiun itu untuk berteduh,” katanya sambil menunjuk ke arah Stasiun Besar. Kimpul mendengarkan dengan serius.
”Saya melihat Pak Kimpul berkemas dan membawa semua peralatan Bapak ke stasiun. Cuma, karena banyak orang di sana, saya benar-benar tidak tahu di mana persisnya Pak Kimpul berteduh. Hingga hujan berhenti dan semua orang meninggalkan emper stasiun, saya juga tidak melihat Pak Kimpul. Karena saya harus segera kembali ke kantor, saya tidak kembali lagi ke tempat Bapak bekerja. Saya langsung pergi dengan janggut, kumis dan cambang yang belum dicukur. Saya buru-buru karena mempersiapkan kepindahan saya ke Jakarta dua hari setelah itu.”
Kimpul masih dengan tekun mendengarkan penjelasan orang yang bernama Dasuki itu.
”Lima tahun saya terganggu karena belum membayar ongkos pangkas rambut itu. Karena itu hari ini saya sempatkan ke sini, pada saat saya sedang bertugas ke kota ini. Saya ingin membayar utang saya itu.”
Begitu selesai mengucapkan kalimat itu ia mengambil uang dari sakunya dan menyerahkan Rp 100.000 kepada Kimpul. Karena Kimpul masih tidak memahami cerita laki-laki itu, ia diam saja dan tidak berani menerima uang yang diulurkan kepadanya. Dasuki memberikan uang itu ke tangan Kimpul dan menggenggamkannya.
”Permisi, Pak Kimpul, saya harus pergi sekarang untuk rapat. Kalau sempat saya akan datang lagi,” kata orang yang bernama Dasuki itu sambil melangkah pergi.
Kimpul merasa uang yang tergenggam di tangannya itu bukan miliknya. Ia pasti salah alamat, pikir Kimpul. Karena itu Kimpul buru-buru berjalan ke arah laki-laki itu pergi. Setelah itu ia berlari-lari kecil di keempat sisi lapangan, namun laki-laki tidak ditemukannya. Ia kembali ke tempatnya bekerja dengan napas tersengal-sengal. Kimpul benar-benar tidak tahu apa yang akan dilakukannya dengan uang Rp 100.000 di tangannya itu.
Ia berpikir keras dan menggedor ingatannya. Akhirnya ia sampai kepada kesimpulan bahwa semua yang diungkapkan laki-laki itu tidak benar dan tidak pernah terjadi. Ingatannya cukup kuat untuk mengetahui semua itu. Lalu mengapa ia memberikan Rp 100.000 sedangkan biaya pangkas lima tahun lalu cuma Rp 5.000. Kimpul bergumam, dari mana pula orang bernama Dasuki itu tahu namaku, padahal aku tidak pernah menyebutkan namaku kepada pelanggan karena memang tidak ada yang pernah bertanya.
***
”Bagaimana Das? Ketemu dengan orang yang kamu cari?”
”Tidak,” sahut Dasuki menjawab pertanyaan istrinya.
”Lalu bagaimana?”
”Aku mengelilingi lapangan itu. Hanya dua orang tukang pangkas yang aku temukan. Yang satu masih muda dan yang seorang lagi, aku rasa berusia lebih dari enam puluh tahun. Mungkin sekitar enam puluh lima tahun. Sebelum aku menghampiri orang tua itu aku bertanya dulu kepada penjaga toko buku bekas yang kumasuki sebelumnya. Dialah yang memberikan nama Kimpul itu kepadaku.”
Dasuki menunggu reaksi istrinya. Istri Dasuki menunggu kelanjutan cerita suaminya.
”Lalu aku datangi orang tua itu dan kuberikan Rp 100.000. Aku ceritakan alasan mengapa aku memberikan uang itu. Dia bengong dan mulanya tidak mau menerima uang itu. Tapi aku berikan uang itu kepadanya dengan menggenggamkannya. Setelah itu aku pergi dan berjanji akan datang lagi kalau aku masih punya waktu luang.”
”Kamu yakin bukan itu orang yang kamu cari?”
”Aku belum lupa wajah orang yang dulu memangkas rambutku. Pipinya kempot, kepalanya botak dan tubuhnya ceking. Aku melihatnya begitu aku selesai makan gado-gado yang enak di pinggir lapangan itu. Karena kasihan aku segera menghampirinya, duduk di kursi kayunya dan memintanya memotong rambutku. Padahal sebelumnya aku berniat memotong rambut di barber shop di sebelah kantorku. Hanya karena aku ingin makan gado-gado dulu makanya aku pergi ke pinggir lapangan itu, bertemu dengan orang tua itu, jatuh kasihan dan memintanya memangkas rambutku.”
Melihat Dasuki menceritakan hal itu dengan lancar istrinya tersenyum dan tidak bertanya apa pun. Dasuki yang merasa perlu memberikan penjelasan lebih lanjut.
”Orang yang kuberi Rp 100.000 itu berambut lebat, beruban dan tidak kurus. Tapi dengan memberikan uang itu aku merasa utangku telah terbayar.”
”Kamu yakin akan merasa tenang setelah membayar utang itu walaupun bukan kepada orang yang berhak menerimanya?”
Lama Dasuki menunduk dan terdiam. Kemudian ia menengadah dan menatap istrinya.
”Aku tidak tahu. Aku harapkan begitu.”

Sumber : http://cerpenkompas.wordpress.com

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Powerade Coupons